“Bohong”, kata yang sedang menjadi trend dalam minggu ini sejak para pemuka agama memberikan pernyataan bahwa pemerintah telah melakukan kebohongan publik. Oleh pemerintah, kebohongan publik itu pun ditampik. Menurut pemerintah, yang terjadi bukanlah kebohongan, melainkan kesenjangan antara pernyataan dengan keyataan. Istilah yang amat menarik, sama menariknya ketika pemerintahan Orde Baru menggunakan istilah rawan pangan untuk mengganti kata kelaparan. Bohong dalam kesantunan yang dibungkus dengan kekuasaan, merupakan kombinasi yang amat cantik!
Lord Acton pernah mengemukakan bahwa kekuasaan cenderung merusak dan kekuasaan absolut merusak pula secara absolut. Quote ini seringkali dipakai untuk menjelaskan penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan kerusakan-kerusakan termasuk di dalamnya korupsi. Berbagai thesis berkaitan dengan hal ini pun dikemukakan diantaranya kekuasaan yang tersentralistik cenderung akan menyebabkan kerusakan yang sentralistis pula. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin akan semakin besar pula kekuasaannya untuk memperbaiki suatu keadaan atau memperparah keadaan.
Pernyataan yang dikemukakan Acton lebih kepada sistem kekuasaan yang membuat perilaku seorang penguasa menjadi menyimpang, namun demikian kekuasaan itu sendiri meskipun tidak mutlak, tetap akan mengubah pola pikir dan perilaku seseorang dibandingkan jika ia tidak memiliki kekuasaan apapun. Kekuasaan dapat meliputi jabatan yang dimiliki, status pendidikan, dan status sosial di dalam masyarakat. Kekuasaan juga bersifat relatif dan temporer. Manager SDM akan memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan biasa, namun demikian jika dibandingkan dengan Direktur Utama, Manager tersebut tidak memiliki kekuasaan sama sekali.
Dana R. Carney, asisten Professor pada Columbia University Graduate School of Business, mencoba untuk menganalisis lebih lanjut, bagaimanakah sebenarnya peran kekuasaan terhadap individu. Apakah kekuasaan benar-benar membuat individu menjadi buruk ? atau apakah dengan kekuasaan individu akan memiliki persepsi bahwa ketika mereka melakukan kerusakan, hal itu dapat dibenarkan atas nama kekuasaan. Carney mencoba menganalisis hal ini dari sisi emosional, kognitif, dan tekanan fisiologi untuk melakukan tindakan merusak yang dalam hal ini diproksikan dengan berbohong. Hal yang paling menarik dari hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan bahwa individu yang memiliki kekuasaan merupakan pembohong yang cerdik. Kekuasaan yang dimiliki akan menjadi tools penting untuk menegaskan ke dalam pribadi-pribadi pemilik kekuasaan tersebut bahwa berbohong merupakan sesuatu yang wajar untuk dilakukan dan dengan demikian mereka akan melakukannya tanpa beban sama sekali.
Lebih lanjut, Carney mengemukakan bahwa kekuasaan akan membuat seseorang terpicu untuk berbohong dan meningkatkan kemampuan mereka untuk menipu orang lain. Mengapa demikian ? Carney menuangkan pemikirannya di dalam penelitiannya yang berjudul How Power Corrupts: Power Buffers the Emotional, Cognitive, and Physiological Stress of Lying pada tahun 2010, dan artikel singkatnya yang berjudul Powerful People Are Better Liar, yang dimuat di Harvard Business Review edisi May 2010. Carney menggunakan indikator kebohongan berupa ekspresi tubuh, akselerasi pengucapan kata-kata, tingkat hormon kortisol dalam tubuh, dan ketidaksesuaian kognitif yang diperlihatkan oleh individu. Ucapan yang jujur tidak memerlukan upaya apapun untuk mengekspresikannya. Ini tentu berbeda sama sekali ketika ucapan yang tidak jujur dilakukan. Ketidakjujuran atas nama kebaikan sekalipun akan berbeda dengan kejujuran yang tulus.
Secara psikologis dan fisiologis, orang yang berbohong akan dapat dilihat dari ciri-ciri tertentu seperti pengucapan kata-kata yang lebih cepat dan seringkali berulang, gerakan mata yang tidak fokus ketika memandang lawan bicara, pupil yang membesar, hormon kortisol yang meningkat , ekspresi senyum yang dipaksakan, dsb. Prof. Carney, yang mendalami psikologi individu dalam pengambilan keputusan menyatakan bahwa kekuasaan membuat efek psikologis dan fisiologis inidividu untuk berbohong menjadi rendah.
Kebohongan yang seharusnya memiliki konsekuensi negatif dipersepsikan oleh penguasa dapat diredam dengan kekuasaan yang mereka miliki. Dengan demikian individu-individu dengan kekuasaan akan dapat berbohong secara efektif dan secara psikologis mereka sangat siap. Akibatnya, Carney mengemukakan akan sangat sulit untuk membedakan kebohongan yang diselimuti dengan kekuasaan dengan kejujuran yang tulus . Indikator-indikator kebohongan yang dipergunakan nyaris menghasilkan pengukuran yang sama antara penguasa yang berbohong dengan bawahan yang berkata jujur.
Coba saja lihat pejabat dan politisi kita saat ini, wajah yang amat berseri dengan ekspresi yang terlihat “jujur”. Kalimat-kalimat normatif meluncur keluar dibumbui dengan angka-angka statistik yang menarik. Angka-angka statistik memang akan membuat kebohongan menjadi ilmiah, dan orang yang berbohong pun memiliki kepercayaan diri yang semakin tinggi. Padahal angka tanpa realita tidak akan bermakna. Angka dan statistik tidak bersalah, tetapi orang yang menggunakan dan menyusunnya yang bermasalah. Oleh Nashim Nicholas Thalib, penggunaan angka statistik dengan cara yang tidak tepat inilah yang disebut sebagai kecurangan intelektual yang luar biasa (The Great Intellectual Fraud).
MASIH pada bulan pertama 2011 ini pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung menghadapi tuduhan serius, melakukan tak kurang dari 9+9 kebohongan selama 6 tahun memerintah. Sumber kritik adalah para pemuka lintas agama, yang dipersepsi bahkan diyakini publik sebagai tokoh-tokoh yang tak berkecenderungan melakukan kebohongan-kebohongan. Sebaliknya, berdasarkan pengalaman empiris yang dihadapi sehari-sehari dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan, kalangan politisi dan penguasa, dianggap sangat lekat pada kebohongan. Bahkan, jurus kebohongan, sudah menjadi senjata standar mereka dalam mencapai tujuan-tujuan mereka.
Sekali dalam 5 tahun. Musim berbohong secara nasional terjadi setiap lima tahun sekali pada masa pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden. Hal yang sama terjadi di propinsi-propinsi maupun kabupaten/kota saat diselenggarakannya pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dan karena Pilkada itu ganti berganti berlangsung di berbagai daerah setiap saat sepanjang tahun selama bertahun-tahun, maka tindak kebohongan itu secara akumulatif praktis terjadi setiap hari. Pelakunya mencapai ribuan orang. Kebohongannya, bukan kebohongan jenis ringan, melainkan kebohongan berat berkadar tinggi, dengan rakyat sebagai korban. Antara lain menjanjikan hal-hal berlebihan padahal sejak awal mengetahui bahwa dirinya takkan mungkin sanggup memenuhi janji-janji itu.
KALAU tidak seluruhnya, setidaknya 99,99 persen dari manusia dimuka bumi ini pernah melakukan kebohongan, sekecil apapun kebohongan itu. Di kalangan rohaniwan Katolik misalnya, ada semacam ‘pandangan’ bahwa tidak semua kebenaran perlu diungkapkan –artinya, ada kalanya terpaksa berbohong karenanya– terutama bilamana kebenaran itu akan menimbulkan keburukan, malapetaka, bahaya, keresahan atau yang semacamnya. Misalnya, tidak semua kebenaran bisa begitu saja diungkapkan kepada anak-anak, karena sang anak belum sanggup menerima kebenaran itu. Para pemimpin juga kerapkali menutup-nutupi banyak hal kepada rakyat, memperlakukan rakyat bagai anak-anak yang tak perlu tahu banyak seluk beluk kekuasaan dan liku-liku bernegara. Bahwa sebagian besar rakyat masih berada di alam ‘kebodohan’, tak terlepas dari fakta bahwa pada umumnya elite yang berkuasa memang tidak terlalu mengutamakan pencerdasan bangsa seperti yang diamanatkan dalam UUD negara.
Namun, tentu saja, tidak mengungkapkan seluruh kebenaran demi suatu alasan kebaikan, berbeda sepenuhnya dengan berbohong demi meraih dan atau memelihara kekuasaan seperti yang terjadi di Indonesia selama setengah abad terbaru, 1960-2011. Dampaknya pun samasekali bertolak belakang.
HIDUNG PINOKIO. Untung hidung para tokoh itu tidak memanjang seperti Pinokio bila sedang berbohong...... Memang tidak kasat mata, tetapi bisa terlihat oleh 'mata hati' publik...
HIDUNG PINOKIO. Untung hidung para tokoh itu tidak memanjang seperti Pinokio bila sedang berbohong...... Memang tidak kasat mata, tetapi bisa terlihat oleh 'mata hati' publik...
KEBOHONGAN SUDAH MERAJALELA DI NEGRI KITA...
Apakah anda termasuk didalamnya,,,???
atau apakah anda lebih parah..???
moga2 tidak yach..??
BELAJAR JUJUR n TRUZLAH JUJUR,niscaya diRimu jauh dari kebohongan
wahahahahhaha :)