"SURGA ada ditelapak kaki IBU" Bu, pernahkah ibu merasa lelah? Maksudku apakah ibu pernah benar-benar merasa lelah? Malam ini sekali lagi untuk kesekian kalinya aku melihat ibu yang tak pernah merasa lelah. Setelah pulang kerja sekitar ...pukul delapan malam, ibu masih menyibukkan diri dengan merapikan dapur, menawariku dan adikku untuk makan malam, bahkan ibu menyempatkan diri untuk mencuci baju-baju kotor, “Biar besok tinggal njemur,” begitu katanya. Ah ibu…ibu pasti sangat lelah. Sungguh aku sangat malu pada diriku sendiri. Selama 19 tahun aku hidup di dunia rasanya aku belum pernah bisa membuat ibu bahagia. Malu aku sebagai anaknya yang belum pernah benar-benar bisa menjadi anak yang berbakti. Apakah ada cukup waktu untukku bisa membalas cinta dan kasih sayangnya yang sangat besar itu? Cinta yang ibu berikan itu… Aku tak pernah bisa memilih dari rahim siapa aku akan terlahir. Aku tak pernah bisa meminta dengan siapa aku minta dibesarkan. Aku pun tak akan pernah tahu siapa wanita itu, yang dengan cinta luar biasanya membuatku merasa nyaman dan aman. Hingga pada satu hari aku bisa mengenal sosok wanita itu, seorang wanita yang dengan ketulusannya tidak pernah merasa lelah untuk mencintai anaknya. Ibu, maafkan aku. Aku tak pernah bisa mengingat bagaimana rasanya tinggal di rahim ibu selama 9 bulan. Aku sama sekali tak bisa mengingat tangisan pertamaku saat terlahir di muka bumi. Aku sama sekali tak bisa mengingat wajah ibu saat menatap mata mungilku. Ingin aku bisa mengingat itu semua. Ingin rasanya bisa kembali ke masa lalu. Melihat ibu menanti kelahiranku. Melihat senyum pertama ibu saat aku mulai tumbuh. Melihat raut bahagia saat aku mulai berkata-kata. Merasakan kembali hangatnya berada dalam pelukan ibu. Aku merindukannya, meskipun aku sendiri masih belum bisa mengerti mengapa aku merindukan sesuatu yang bahkan aku tak bisa mengingat dengan jelas bagaimana rasa itu. Seandainya aku bisa kembali ke masa kecilku. Aku ingin lebih banyak membuat ibu tertawa. Aku ingin membuat ibu lebih banyak tersenyum. Aku ingin berusaha lebih giat lagi di sekolah. Aku akan belajar dengan rajin dan tekun. Aku tak akan membuat ibu marah. Aku tak ingin menyusahkan ibu. Aku tak mau melihat ibu menangis. Aku tak sanggup melihat ibu menangis. Aku tak akan pernah membuat ibu bersedih. Aku hanya ingin ibu bahagia. Samar-samar aku hanya bisa mengingat saat aku duduk di bangku TK. Ibu masih sering mengantarku pergi ke TK dan menungguiku hingga pulang. Tahukah ibu kadang aku merasa sedikit tersanjung saat ibu menceritakan bahwa aku tak semanja adikku. Ibu bercerita bahwa adikku masih sangat manja saat duduk di bangku TK. Dia minta ditunggui seharian dan tidak mau ibu pergi, sedangkan aku, ibu bilang aku sudah cukup “berani” waktu itu. Jika saja ibu tahu yang sebenarnya bahwa aku menyimpan rasa takut, aku bahkan terlalu takut untuk berucap bahwa aku sangat mencintaimu, Bu. Selama ini aku belum pernah mengatakannya. Aku merasa kelu dengan lidahku sendiri. Entah karena aku terlalu canggung atau aku tidak mau mengatakannya. Aku ingin sekali mengatakannya dan memeluknya. Aku ingin merasakan kembali pancaran kasih sayang ibu. Ibu, aku ingin kembali menjadi gadis kecilmu. Ibu, apakah Ibu tahu bahwa aku sangat mencintaimu? Sekali lagi aku melihat tempat tidurku rapi. Sekali lagi aku melihat baju-baju kotor yang tergantung sudah tercuci. Sekali lagi aku melihat makanan sudah siap tersaji. Sekali lagi aku melihat wajah Ibu yang hangat. Masih melekat dalam ingatanku tentang sebuah kenangan. Waktu itu aku duduk di kelas dua Sekolah Dasar. Adik pun masih kecil. Saat itu bapak dikirim bertugas ke Timor Timur. “Bapak mau pergi ke mana?” tanyaku saat itu. “Ke tempat yang jauh,” jawab ibu. “Ke JAMBI?” “Bukan,” jawab ibu. “JAMBI?” tanyaku lagi. Hanya kedua kota itulah, JAMBI dan JAKARTA, yang aku tahu karena beberapa saat sebelum bapak pergi “ke tempat yang jauh” seperti yang disebut ibu, bapak sudah pergi ke kedua kota itu untuk melanjutkan pendidikan. Aku lupa apakah waktu itu ibu langsung memberitahuku bahwa bapak akan pergi ke Timor Timur. Namun, masih jelas dalam ingatanku bahwa bapak pergi ke Timor-Timur saat aku duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Ada saatnya aku merasa kangen dengan bapak. “Kapan bapak pulang?” tanyaku pada ibu setiap kali aku kangen sama bapak. Aku tak bisa mengetahui apakah ibu juga sangat merindukan bapak saat itu melebihi rasa rinduku. Ibu tidak pernah bercerita tentang perasaanya. Ibu tak pernah memberitahuku apa yang sedang dipikirkannya. Satu hal yang aku tahu bahwa ibu adalah sosok wanita yang sabar dan tegar. Saat bapak pergi ke Timor-Timur adakalanya Bapak menelepon kantor dan minta disambungkan pada ibu. Saat itu belum ada ponsel dan tak ada telepon rumah. Telepon melalui kantor adalah satu-satunya cara bapak dan ibu tetap bisa berbicara dan berkomunikasi secara langsung. Jika ada seorang petugas datang ke rumah dan memberitahu ibu bahwa ada telepon dari bapak, ibu akan segera bergegas menuju kantor. Aku dan adik pasti akan diajak, sepertinya saat itu ibu belum tega membiarkan aku dan adik ditinggal di rumah meskipun hanya sebentar. Berjalan kaki dari rumah menuju kantor butuh waktu sekitar 15 menit. Cukup melelahkan saat itu karena ibu harus menggendong adik dan menjagaku agar aku berjalan tidak terlalu jauh darinya. Sayangnya aku sama sekali rupa bagaimana raut wajah ibu saat menerima telepon dari bapak itu. Andaikan saja ibu mau bercerita padaku… Menjagaku dan menjaga adikku yang masih kecil tanpa bapak mungkin membuat ibu cukup lelah. Aku tak tahu apakah ibu pernah mengeluh saat itu. Aku hanya tahu bahwa aku bisa berangkat sekolah dengan nyaman dan aku bisa makan serta tidur dengan nyenyak. Memang sesekali aku rindu pada bapak, hanya saja karena masih ada ibu yang menjagaku aku merasa aman dan terlindungi. Selama kurang lebih satu tahun bapak bertugas di Timor-Timur telah meninggalkan cerita tersendiri bagi ibu. Ibu pastinya tak akan pernah lupa akan kenangan seorang diri menjagaku dan adikku tanpa bapak selama beberapa bulan. Cerita tersendiri yang mungkin hanya ibu yang tahu. Waktu aku kecil aku tak pernah bisa mengingat apakah ibu pernah menangis. Jika saja ibu menangis, aku pastinya akan ikut menangis. Aku tak pernah sanggup menahan air mata ini tertumpah jika melihat ibu menangis. Meskipun tak ada kata-kata yang sanggup terucap aku hanya berharap bisa berbagi perasaan dengannya meskipun dengan air mata. Pernah suatu hari aku melihat ibu dan bapak bertengkar. Memang tidak ada saling berteriak. Tidak ada saling memaki dengan ucapan yang lantang. Hanya saja aku melihat ibu menangis. Air matanya tumpah tanpa suara, meskipun aku tidak tahu seberapa sakit perasaan ibu saat itu. Melihat ibu menangis membuatku ikut merasa perih. Banyak yang ingin aku ceritakan tentang ibu tetapi aku tak tahu bagaimana bisa mengurutkannya. Aku bingung apa yang sebaiknya aku ceritakan sebelum aku menulis cerita selanjutnya. Ibu…aku hanya ingin ibu tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Aku memang tak pernah berucap betapa aku sangat menyayangi ibu. Kata-kata itu seolah hanya bisa tertelan kembali dan tak pernah bisa kuucapkan. Aku pun sejujurnya sangat ingin ibu berkata bahwa ibu juga sangat menyayangi aku. Namun, bagaimana ibu menunjukkan kasih sayang itu dan bagaimana aku menunjukkan rasa cinta itu pastinya sangat berbeda. Tanpa ada satu untaian kata aku bisa merasakan betapa ibu sangat menyayangiku. Aku memang bisa merasakan rasa cinta ibu meskipun ibu tak pernah mengucapkannya secara langsung bahwa aku sangat dicintainya. Ibu, maafkan aku… Kadang aku merasa ingin memiliki ibu yang lain. Tak jarang aku iri untuk menjadi anak dari ibu yang lain. Sepertinya aku masih sering lupa bersyukur terlahir dari rahimmu, ibu. Maafkan aku yang masih sering berkata dengan nada tinggi padamu. Maafkan aku yang masih sering berperilaku buruk padamu. Maafkan aku yang tak sungguh-sungguh berbakti padamu. Aku sering lupa bahwa hanya ibu yang selalu menjagaku sejak lahir hingga kini. Saat aku beranjak remaja, aku semakin memikirkan banyak hal. Kadang hal-hal sepele pun menjadi masalah besar yang berlebihan. Aku pun semakin sering membentak dan berkata kasar pada ibu. Anehnya, ibu makin jarang memarahiku. Mungkinkah ibu sangat memahami kondisiku yang sangat labil saat itu? Saat itu rasanya aku semakin banyak menghabiskan waktu bersama teman-temanku. Baktiku padamu masih teramat kurang. Ibu… Aku terus tumbuh melihat banyak hal. Aku pun mulai mencari pengalaman-pengalaman baru. Semua yang aku lihat, dengar, dan rasakan…ingin kubagi denganmu bu. Cinta mungkin ingin dikatakan. Namun, bagiku cinta itu bisa memiliki makna yang lebih dalam jika diuraikan tanpa kata-kata. Sulit… Aku tahu ini tidak lah mudah. Cinta itu seperti air mata. Ia menetes di kala ada perasaan sedih. Ia pun bisa menetes saat timbul perasaan yang teramat bahagia. Cinta itu bisa terucap dengan satu tetes air mata. Air mata bukanlah hal yang patut disembunyikan meski mungkin air mata hanya akan bisa mengalir saat kita merasa sendiri. Ibu jarang mengatakan betapa cinta dan sayang sangat besar untukku. Namun, tidak perlu kata-kata itu karena cinta seorang ibu tidak hanya sebatas pada kata-kata. Cinta ibu lebih dari rangkaian kata-kata. Jika aku bisa berlari, aku ingin bisa berlari menjemput setiap jengkal cinta ibu. Saat aku tumbuh dan pandai berkata-kata, lidahku masih saja tak bisa berkata tentang cinta pada ibu. Kali ini pun aku tak bisa menulis kata-kata yang paling indah untuk ibu… Seribu. Sejuta kata tentang cinta tak akan sanggup menggantikan rasa cinta ibu yang begitu besar padaku. Ah, seberapa berharga hidupku ini jika aku tak bisa berbakti pada ibu. Waktu terus berjalan. Memang tak akan bisa diputar kembali. Mengulang masa lalu yang telah berlalu. Tak akan bisa dan tak dapat dilakukan. Kenangan yang ada hanya bisa diingat, disimpan, tetapi tak akan pernah bisa kembali ke masa yang sama di mana masa lalu itu berasal. Detik demi detik masih berjalan ke depan, ke masa yang akan datang. Banyak impian dan harapan yang ingin aku raih di masa yang akan datang. Banyak hal yang ingin aku wujudkan yang selama ini masih tersimpan di dalam otakku. Namun, saat aku mencoba berhenti di satu detik aku melihat satu-satu rambut ibu memutih. Selama itu kah ibu menemaniku? Sampai kapan kah? Pernah terbayang dalam anganku, jika aku diberi kesempatan aku ingin ibu melihatku menikah. Iya, seperti tokoh-tokoh putri dalam cerita dongeng yang pada saatnya akan bertemu dengan pangerannya dan hidup bahagia dengan sang pangeran. Hidup berbahagia dengan sang pangeran mungkinkah masih tetap sama dengan membahagiakan ibu? Ingin rasanya aku bisa melihat senyum bahagia ibu di saat aku pun merasa bahagia. Mungkin tidak hanya perasaan bahagia tetapi juga luapan rasa cinta. Ibu, aku mohon restumu… Bisakah ibu membaca pikiranku? Maafkan aku Bu yang tak pernah bisa mengatakan secara langsung betapa aku sangat menyayangimu. Kadang aku merasa kesal karena tidak pernah ada perayaan khusus di setiap hari ulang tahunku. Pernah aku marah saat hari ulang tahunku tak ada yang memberiku kado ataupun ucapan selamat. Aku memang sedih dan merasa tidak diperhatikan. Ibu memang bisa membaca perasaanku. Ibu pun memberiku sejumlah uang dan aku bebas membeli apa saja dengan uang itu. Di hari ulang tahunku yang lain, aku sempat terkejut saat tahu bahwa ibu bangun pagi-pagi sekali hanya untuk membuatkan masakan khusus di hari ulang tahunku. Ibu pasti merasa lelah. Ibu tak pernah mengatakannya. Ibu pun pastinya memiliki rasa cinta yang besar, hanya saja ibu tak pernah mengatakannya secara langsung. Sudahkah aku mengucapkan terima kasih padanya? Anak macam apa aku ini… Dunia memang memiliki satu matahari. Namun, aku memiliki dua matahari. Matahari pertama adalah matahari dunia yang senantiasa menghangatkan pagi. Matahari yang senantiasa menyinari siang dan memberikan cahaya bagi semua makhluk yang ada di bumi. Meskipun matahari akan tenggelam menjelang senja, dia tetap bersinari di belahan bumi yang lain. Matahari tak pernah padam. Dia akan padam saat bumi dan seluruh jagad raya berhenti berputar. Matahari kedua adalah matahari yang senantiasa menghangatkan hatiku dengan cinta yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kehangatan cinta yang tak pernah membakar ataupun melukai. Kehangatan kasih sayang yang dapat dirasakan di setiap waktu, kapan pun itu. Matahari cinta ibu selalu membuatku merasa nyaman. Dua matahari yang memiliki sinar tersendiri. Nikmat mana lagi yang akan aku dustakan? Patut kah aku hanya mengeluh dengan semua yang ada? Malam yang lain kulihat ibu harus kembali ke tempat kerjanya pukul 22.00. Ibu harus menginap di sana karena ada pasien yang baru saja melahirkan. Ibu bukanlah seorang bidan, ibu bekerja untuk membantu pekerjaan seorang bidan yang membuka rumah praktik tak jauh dari tempat tinggalku. Beberapa minggu terakhir ini pastilah melelahkan. Aku bisa melihat ibu lelah. Namun, aku tak pernah bisa mendengar kata lelah darinya. Mungkin selama ini aku belum bisa memberikan sesuatu yang bermakna dan menyenangkan hati ibu. Saat ibu berulang tahun aku memang memberinya sebuah kado, tetapi apakah itu sudah bisa mewakili perasaanku padanya? Ibu…aku ingin memelukmu. Ibu… Aku ingin selalu berada di hatimu. Maafkan aku anakmu yang masih saja lupa betapa besar pengorbananmu. Maafkan aku yang masih saja membandingkanmu dengan yang lain. Maafkan aku yang kadang menangis jika mengingat pengorbananmu tetapi tak pernah bisa berbuat sesuatu untukmu. Maafkan aku bu, aku belum bisa menjadi anak yang berbakti padamu. Maafkan atas keluhanku, wajah cemberutku, kata-kata kasarku, cinta yang belum tulus ini. Ya Rabb, bisakah aku menggapai cinta-Mu dengan mencintai ibuku? Sudahkah aku dengan tulus menyayanginya sebagaimana Engkau mencurahkan kasih sayang padaku melalui ibuku? Bu, maafkan aku jika kata-kata dan rangkaian kalimat yang aku tulis ini terkesan mengada-ada. Namun, sungguh hanya ibu yang telah memberikan cinta terbesar untukku. Menghangatkan setiap detik waktu yang ada dengan kasih sayangmu. Pernah dalam sebuah mimpi, aku bermimpi ibu “pergi.” Jujur saja aku belum siap. Apakah aku bisa hidup tanpa ibu? Mampukah aku bertahan “seorang diri”? Namun, semua yang ada di dunia ini tidak ada yang kekal. Aku tahu setiap manusia akan bertemu dengan “waktunya.” Tidak ada yang tahu kapan waktu itu akan datang. Bisa datang tiba-tiba bisa juga dengan pertanda. Hanya Allah yang tahu, hanya Dia yang mengatur. Pun Allah yang bisa merahasiakan segala sesuatu yang tak dapat diketahui makhluk-Nya. Siapalah aku? Aku pun tak tahu kapan “waktuku,” aku hanya ingin bisa memberikan sepucuk cinta untuk ibuku di dunia ini. Rabb, jangan biarkan aku hidup sia-sia di bumi ini dan mendapat adzab-Mu di “kehidupan” setelah kehidupan. Bu…pernah kah ibu membaca puisiku? Aku mohon jangan Kau tutup mata hati ini Meskipun mungkin aku tak bisa melihat cahaya dengan kedua mata Aku tak ingin jauh dari cahaya kehidupan Sekali aku hidup di dunia ini Aku tak mau terlepas dari wajahnya Juga aku tak mau jauh dari dekapan Rabb, ijinkan aku Sedetik saja untuk mengucapkan satu kata Satu menit untuk merangkai sebuah kalimat Satu jam untuk merenung tentang makna Satu hari untuk kembali merasa hangat Dalam curahan kasih sayang-Mu Dalam untaian cinta-Mu Yang tercurah melalui senandung cinta ibuku Yang berada dalam kehangatan kasih sayang ibuku Rabb, aku memang bukan hamba-Mu yang terbaik Aku pun tak ingin menjadi hamba-Mu yang lupa bersyukur Terima kasih telah mengijinkanku hidup di dunia Terima kasih telah memberiku kehangatan cinta seorang ibu Seorang wanita pilihan-Mu Ibu…terima kasih Jika dunia memiliki satu matahari Aku memiliki dua matahari Matahari dunia yang bersinar setiap hari Matahari cinta yang menghangatkan diriku setiap detik Matahari cinta itulah dirimu… Ibu adalah matahari cinta itu Tak pernah membakar Tak pernah menyakiti Terima kasih ya Rabb, Cinta-Mu terpancar dari kehangatan cinta ibu. Bu, jika Allah memang mengijinkan-di suatu saat nanti-aku juga akan menjadi seorang ibu. Bisakah aku sepertimu bu? Berat kah menjadi seorang ibu itu? Kadang aku takut menjadi seorang ibu. Sepertinya terlalu berat untuk mencurahkan kasih sayang tanpa mengenal lelah. Seolah terlalu berat berbuat sesuatu tanpa imbalan atau tanpa ucapan terima kasih. Maukah ibu mengajariku? Bu, aku ingin menangis… Aku takut kehilanganmu. Aku takut sendiri. Boleh kah aku menangis saat ini? Ijinkan aku untuk menjadi gadis kecilmu seperti dulu. Sejenak saja biarkan aku menjadi lebih manja padamu. Tak perlu kata-kata. Satu senyuman darimu sudah mampu mengobati air mataku. Aku ingin kembali berada dalam dekapanmu. Merajuk manja dan merasa hangat dalam dekapanmu. Tak perlu senandung merdu, detak jantungmu sudah berkata bahwa sebuah nyawa pernah dipertaruhkan saat aku lahir. Rasa sakit itu…bisa kah aku mengobatinya? Bu, maafkan aku yang belum bisa membelamu di saat banyak yang menyudutkanmu. Sepertinya aku belum dewasa. Aku masih terlalu asing untuk kehidupan. Terlalu banyak hal yang berkecamuk dalam pikiranku. Ajari aku tentang cinta, Bu… Dengan atau tanpa kata, ajariku agar aku bisa memiliki cinta sebesar cintamu padaku. Ibu, sebuah senyuman darimu mengalahkan jutaan kata tentang perasaan cinta. Terima kasih Ya Allah. Terima kasih atas anugerah cinta-Mu ini.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 comments:
Posting Komentar